Templates
Indexed by
Citedness
Buku Ekoregion Sumatra menyajikan data dan informasi terkini mengenai kondisi keanekaragaman hayati yang ada di Pulau Sumatra, pulau-pulau kecil, dan wilayah laut disekitar Sumatra. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, kenaekaragaman hayati memiliki 3 tingkatan yaitu ekosistem, spesies dan genetik. Pada buku Ekoregion Sumatra ini, pembahasan difokuskan pada keanekaragaman ekosistem dan spesies, tanpa mengurangi nilai penting keanekaragaman genetik untuk pembangunan berkelanjutan.
Pulau Sumatra yang memiliki luas 473.481 km2 merupakan pulau tersebar kedua di Indonesia dan merupakan salah satu pulau yang memiliki sejarah panjang penelitian alam. Karakteristik bentang alam Sumatra sangat berkaitan dengan sejarah geologis pementukannya yang tidak dapat dipisahkan dengan Semenanjung Malaysia, dan dikenal sebagai Paparan Sunda (Sundaland). Pergeseran lempeng teknonik selama proses pembentukan Pulau Sumatra berkontribusi pada pembentukan barisan gunung berapi di sepanjang pantai barat Sumatra dari utara hingga selatan. Formasi batuan dan iklim Pulau Sumatra yang dipengaruhi oleh kondisi geografis dan atmosfir, membentuk karakteristik ekosistem, serta flora dan fauna yang khas untuk Sumatra dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Daerah pegunungan di barat Sumatra memiliki iklim tropis dengan suhu yang sejuk, sedangkan daerah pantai dan dataran rendah di timur Sumatra memiliki iklim tropis dengan suhu yang lebih panas. Hal yang sama dapat dijumpai untuk karakteristik perairan laut, sebelah barat dan selatan yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia memiliki topografi dasar laut yang curam dengan gelombang besar dan arus yang kuat. Sementara, perairan sebelah timur yang berbatasan dengan Selat Malaka, Laut Natuna dan Selat Karimata memiliki topografi dasar laut yang dangkal, gelombang kecil dan arus yang lemah. Dalam pengelolaan ruang laut, perairan laut di sekitar Pulau Sumatra dibagi menjadi 6 ekoregion laut, yaitu Samudra Hindia sebelah Barat Sumatra, Samudra Hindia sebelah Selatan Jawa, Selat Malaka, Laut Natuna, Selat Karimata dan Laut Jawa. Meskipun menggunakan isilah ekoregion juga, penetapan ekoregion laut dilakukan untuk mempermudah pengelolaan ruang laut dengan memperhatikan karakteristik keanekaragaman hayati, oseanogradi dan kimia laut yang berbeda serta pengaruh geomorfologi dasar laut.
Keanekaragaman ekosistem dapat ditemukan mulai dari laut dangkal, pesisir pantai hingga pegunungan tinggi yang memanjang disisi barat Sumatra dari utara hingga Selatan. Secara umum ekosistem dapat dikelompokkan menjadi eksositem alam dan ekosistem buatan, yaitu ekosistem yang terbentuk karena ada campur tangan manusia. Data tahun 2021 menunjukkan bahwa ekosistem buatan di Sumatra mencapai 42% dari total luas daratan Sumatra. Penurunan luas tutupan hutan di Sumatra selama 30 tahun terakhir (1990-2021) tidak dapat dipungkiri karena adanya perubahan tata guna lahan untuk pemukiman, pertanian dan perkebunan. Hutan lahan kering sekunder dan hutan rawa sekunder cenderung menurun, sementara lahan pertanian, sawah, perkebunan dan permukiman cenderung naik. Sehingga luas total wilayah berhutan di Sumatra tersisa sekitar 37% dari total luas daratan Sumatra. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan dengan tetap mempertahankan wilayah berhutan yang menjadi penyangga kehidupan seluruh mahluk hidup.
Informasi mengenai wilayah berhutan yang secara detail dapat dibedakan menjadi beberapa tipe ekosistem masih belum dikumpulkan dalam suatu sistem informasi yang dapat digunakan oleh pengambil kebijakan dalam menentukan prioritas pembangunan. Oleh karena itu, buku Ekoregion Sumatra ini menyajikan informasi mendetail berdasarkan data saintifik yang tersedia untuk 16 tipe ekosistem alami. Komposisi flora dan fauna yang menjadi karakteristik dari tiap ekosistem dijelaskan mendetail, begitu pula dengan luasan dan lokasi sebaran masing-masing tipe ekosistem tersebut.
Ekosistem alami tersebut meliputi ekosistem marine terdiri dari terumbu karang dan padang lamu; ekosistem semiterrestrial terdiri dari hutan mangrove dan riparian, ekosistem limnik terdiri dari sungai dan danau; ekosistem terrestrial yang terdiri dari ekosistem hutan pamah dan hutan pegunungan. Hutan pamah memiliki tipe ekosistem paling beragam, terdiri dari ekosistem pantai, hutan dipterokarpa, hutan kerangas, rawa, gambut, karst serta savana dan padang rumput. Sedangkan hutan pegunungan terdiri dari hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan atas, dan sub-alpin. Meskipun informasi mengenai karakteristik masing-masing tipe ekosistem tersebut berhasil dihimpun, namun total luasan dari masing-masing ekosistem masih belum dapat diketahui kecuali untuk ekosistem mangrove, gambut, karst serta savana dan padang rumput. Sumatra memiliki ekosistem gambut terluas di Indonesia, dan ekosistem karst terluas ketiga setelah Papua dan Kalimantan. Gap informasi terbesar dapat ditemukan pada ekosistem pegunungan, terutama pegunungan atas (1500 – 3000 m dpl) dan sub-alpine (diatas 3000 m dpl). Sedikit sekali literatur yang menjelaskan kedua tipe hutan tersebut di Sumatra.
Selain keanekaragaman ekosistem, Sumatra juga menyimpan keanekaragaman flora fauna laut dan terrestrial yang tinggi. Pada tingkat spesies, keanekaragaman hayati spesies di Sumatra dipengaruhi oleh letak geografis dan sejarah geologis pembentukan pulau. Pulau-pulau kecil yang tidak terhubung langsung dengan Pulau Sumatra memungkinkan terjadinya migrasi, pertukaran, isolasi ekologis dan proses suksesi yang memperkaya keanekaragaman species di ekoregion ini.
Kawasan laut di sekitar wilayah perairan Sumatra memiliki potensi keanekaragaman flora laut, antara lain lamun dan makroalga. Lamun di perairan Sumatra membentuk hamparan padang lamun monospesifik dan multispesifik dengan rata-rata 4 hingga 5 spesies, dan maksimal 9 spesies dalam satu lokasi. Lokasi yang memiliki jumlah spesies terbanyak adalah Bintan, Lingga dan Belitung dengan 9 spesies lamun, sedangkan di lokasi Sabang memiliki jumlah spesies terendah, sebanyak 2 spesies. Sementara itu, secara umum ditemukan sekitar 76 spesies makroalga di perairan Sumatra. Spesies yang paling sering ditemukan adalah Sargassum spp, Padina spp, Caulerpa spp. dan Halimeda spp. Jumlah spesies makroalga di kawasan ini masih sangat mungkin bertambah seiring dengan banyaknya kegiatan eksplorasi yang dilakukan.
Fauna laut yang memiliki keanekaragaman spesies yang relatif tinggi adalah kelompok Echinodermata. Jumlah spesies yang paling banyak dijumpai pada kelompok bintang mengular (Ophiuroidea), yaitu 72 spesies dan paling sedikit dijumpai pada kelompok lili laut (Crinoidea), sebanyak 49 spesies. Kelompok bintang laut (Asteroidea), bulu babi (Echinoidea) dan timun laut (Holothuroidea) masing-masing terdiri dari 51, 55 dan 50 spesies. Selain itu, tercatat sekitar 170 spesies krustasea (kepiting dan udang-udangan), kelompok moluska laut dan juga belangkas (bangsa Xiphosura) juga ditemukan di perairan laut sekitar Pulau Sumatra. Lebih dari 1.000 spesies ikan diketahui hidup di sekitar wilayah perairan ini dan beberapa diantaranya bersifat endemik atau termasuk spesies yang terancam punah, seperti ikan hiu, pari dan napoleon. Sampai saat ini, tercatat sebanyak 25 spesies mamalia laut yang hidup di perairan sekitar Sumatra, 19 spesies diantaranya tercatat pernah terdampar di sekitar perairan ini. Selama kurun waktu 2004-2021, tercatat sebanyak 75 kasus keterdamparan dengan jumlah kasus paling banyak adalah duyung Dugong dugon di Provinsi Aceh, Kepulauan Riau, Riau dan Bangka Belitung.
Keanekaragaman flora terestrial pulau Sumatra menempati posisi ketiga setelah pulau Jawa dan Kalimantan dengan jumlah 10.159 spesies, yang terdiri dari 8.095 spesies dari kelompok tumbuhan Spermatofit 968 spesies kelompok Lumut, dan 739 spesies Pteridofit atau tumbuhan Paku-pakuan. Seiring dengan banyaknya eksplorasi yang dilakukan dalam kurun kurang lebih 10 tahun terakhir, tercatat 59 spesies baru flora yang telah dipertelakan. Sebanyak 686 spesies flora di Pulau Sumatra merupakan spesies endemic, meliputi suku Orchidaceae (Anggrek-angrekan) sebanyak 82 spesies, suku Gesneriaceae 62 spesies, dan suku Ericaceae 57 spesies. Saat ini, sebanyak 117 spesies tumbuhan telah masuk dalam daftar spesies yang dilindungi, dengan jumlah spesies terbanyak berasal dari suku Nepenthaceae (59 spesies Nepenthes), diikuti oleh Orchidaceae (28 spesies anggrek) dan Rafflesiaceae (13 spesies Rafllesia). Selain itu, ribuan spesies anggrek juga masuk dalam daftar perdagangan internasional yang diatur dalam CITES, bersama dengan spesies-spesies Nepenthes, Gaharu, Dalbergia, Cyathea dan lainnya. Beberapa spesies diantaranya memiliki tingkat keterancaman yang tinggi berdasarkan hasil asesmen IUCN. Diantara banyaknya spesies tumbuhan yang perlu dilindungi, pemerintah telah menetapkan 13 spesies flora dari suku Araceae, Dipterocarpaceae, Lauraceae, Nepenthaceae, Orchidaceae, dan Rafflesiaceae yang menjadi prioritas untuk dilindungi. Selain itu, tujuh spesies dari suku Dipterocarpaceae dan Lauraceae perlu untuk ditambahkan ke dalam daftar sementara karena berdasarkan asesmen IUCN statusnya Terancam Punah.
Keanekaragaman Fauna di Sumatra juga termasuk tinggi, saat ini ini tercatat kurang lebih 5.179 spesies fauna terrestrial di awasan ini, termasuk dalam subfilum Vertebrata dan filum Invertebrata. Di Sumatra tercatat sebanyak 662 spesies burung, tertinggi kedua setelah Papua (703 spesies). 58 spesies merupakan spesies burung endemik dan 10 spesies diantaranya termasuk dalam 3 kategori terancam menurut IUCN. 251 spesies mamalia terrestrial diketahui terdistribusi di Sumatra dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, yang terdiri dari 12 bangsa dan 39 suku. 57 spesies mamalia atau sekitar 15.8% diantaranya merupakan spesies-spesies mamalia yang endemik, termasuk endemik di Pulau Sumatra maupun endemik di pulau kecil disekitarnya. 43 spesies mamalia di kawasan Sumatra telah masuk dalam daftar fauna yang dilindungi, dan sebagian diantaranya terancam punah berdasarka kriteria IUCN, yaitu 7 spesies (3%) masuk dalam kategori kritis, 16 spesies (6%) terancam, dan 39 spesies (15%) rentan.
Data kekayaan spesies herpetofauna di kawasan ekoregion Sumatra saat ini, diprediksi belum menggambarkan jumlah yang sesungguhnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan spesies baru sebanyak 36 spesies untuk reptilia dan 40 spesies untuk amfibia dalam kurun waktu tahun 2000 - 2023. Hampir 40% amfibia dari total 130 spesies di Sumatra adalah endemik; 31% spesies reptilia Atua 83 dari 267 spesies adalah endemic. Diantara spesies tersebut, 8 spesies masuk dalam daftar jenis lindungan. Untuk spesies ikan air tawar, terdata 595 spesies dan tersebar di danau-danau bagian Barat Sumatra, Sungai-Sungai besar di Selatan dan Utara Pulau Sumatra dan rawa/gambut di pesisir Timur Sumatera. Sebanyak 73 spesies diantaranya merupakan spesies ikan endemik Sumatra dan 24 spesies telah masuk dalam daftar ikan yang dilindungi. Di kawasan ekoregion Sumatra, juga tercatat adanya 16 spesies ikan introduksi dan beberapa 7 spesies diantaranya dimanfaatkan dalam kegiatan budidaya, diantaranya mujair, nila, lele Africa, mas, patin Bangkok, sepat siam dan bawal air tawar.
Fauna terestrial yang masuk dalam kelompok invertebrate, yaitu insekta dan arthrpoda lainnya memiliki keanekaragam,an yang sangat tinggi, bahkan untuk kelompok insekta saja tercatat kurang lebih 2581 spesies. Lebih dari 1000 spesies kupu-kupu terdapat di Pulau Sumatra dan pulau-pulau kecil di sekitarnya dengan 77 spesies diantaranya merupakan kupu-kupu endemik untuk Pulau Sumatra dan sekitarnya dan 6 spesies dilindungi. Selain kupu-kupu, saat ini diketahui di Sumatra sendiri diketahui terdapat 30 spesies lebah tanpa sengat dan 109 spesies Vespidae yang termasuk dalam 30 marga. Pada kelompok Moluska, khususnya keong darat anggota Filum Gastropoda, terdapat 322 spesies atau sekitar 90% dari keong darat yang tercatat di Indonesia, dan 33 spesies diantaranya endemic Summatra. Keong darat suku Camaenidae dan Cyclophoridae memiliki jumlah spesies terbanyak sebanyak 58 dan 66 spesies. Sedangkan dari kelompok Bivalvia atau kerang-kerangan, sebanyak 57 spesies Bivalvia air tawar tercatat dari Pulau Sumatra dengan lima spesies merupakan spesies endemik.
Tingginya keanekaragaman hayati di Sumatra menyimpan potensi yang besar juga untuk pembangunan, oleh karena itu perlu diiringi dengan kebijakan pengelolaan kawasan, termasuk kawasan konservasi yang dapat melindungi, menjaga dan memelihara keanekaragaman hayati. Implementasi pengelolaan kawasan konservasi dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis dibawah Direktorat Jenderal KSDAE, KLHK termasuk yang di Pulau Sumatera, seperti di Balai Besar Taman Nasional (TN) Gunung Leuser dan Balai TN. Bukit Barisan Selatan. Di luar kawasan konservasi, seperti pada hutan lindung dan produksi telah diimplementasikan juga berbagai kebijakan untuk mendukung pengelolaan kehati yang berkelanjutan, seperti kebijakan Restorasi Ekosistem (RE) dan multi usaha kehutanan pada area Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Pada tingkat konservasi spesies, implementasi kebijakan konservasi flora dan fauna dilakukan secara in-situ maupun eks situ. Program konservasi spesies in situ dilakukan melalui pendekatan spesies payung (umbrela species), spesies bendera (flagship species) atau spesies kunci (key species) sebagai spesies indikator/prioritas untuk dilindung. Implementasi konservasi eks situ dikembangkan melalui pembentukan lembaga konservasi, pusat penyelamatan satwa, kebun raya, taman kehati dan unit penangkaran tumbuhan dan satwaliar.
Kawasan konservasi terus bertambah meskipun dari luasan mengalami penurunan dalam tujuh tahun terakhir. Kawasan konservasi yang dikelola oleh KLHK pada tahun 2022 mencapai 568 kawasan dan 153 kawasan tersebar di Pulau Sumatera dengan luas sekitar 5,25 juta ha. Namun sebagian kawasan konservasi tersebut telah berubah menjadi perkebunan sawit dan terus mengalami degradasi fungsi dan fragmentasi habitat akibat tingginya tekanan akibat perambahan, perkebunan, penebangan liar, kebakaran hutan, dan penambangan tanpa ijin. Selain di daratan, terdapat sekitar seperti satu Taman Wisata Alam Laut, dua Taman Wisata Perairan, satu Cagar Alam Laut dan 45 Kawasan Konservasi Perairan Daerah. Beberapa kawasan konservasi yang memenuhi kriteria penetapan secara internasional, potensi kekayaan hayati, habitat utama satwa terancam punah, keberadaan masyarakat tradisional, potensi pemanfaatan jasa lingkungan, keterwakilan geografis dan mewakili ekosistem daratan dan perairan terdapat beberapa kawasan konservasi perlu untuk menjadi prioritas dalam pengelolaan dimasa mendatang. Kawasan konservasi tersebut adalah TN. Gunung Leuser, TN. Berbak dan Sembilang, dan TN. Bukit Barisan Selatan. Sebagai contoh, kawasan TN. Gunung Leuser merupakan kawasan konservasi di Pulau Sumatera yang merupakan habitat terakhir gajah, harimau, badak dan orangutan Sumatra serta beragam flora yang dilindungi.
Selain pengelolaan melalui kawasan konservasi, dalam mendukung pengelolaan kehati pemerintah telah menetapkan pedoman untuk tindakan konservasi berbasis kawasan lain di luar kawasan konservasi/Other effective area-based conservation measures (OECM), yaitu Kawasan Bernilai Konservasi Hayati Tinggi atau di sebut juga Ekosistem Esensial (ABKT), area lahan basah, koridor satwa dan taman kehati. Pada tahun 2022 di Sumatra dapat diidentifikasi 16 kawasan OECM dengan luas mencapai 715 ribu ha, diantaranya Koridor Sumatra Selatan, Mangrove Lepar Pongok dan Pantai Cemara. Kawasan OECM yang perlu untuk menjadi prioritas pengelolaan dimasa depan adalah Lanskap Batangtoru, yang merupakan habitat terakhir bagi orangutan tapanuli.
Pulau Sumatra juga memiliki beragam etnis yang tersebar dari tidak hanya didataran Sumatra, namun juga di pulau-pulau kecil sekitar Sumatra.Kekayaan sumber daya hayati Sumatra telah menarik berbagai bangsa sejak zaman dahulu. Pada abad ke-9, pedagang Arah membuka jalur pelayaran ke Sumatra, mengawali era perdagangan dan hubungan lintas budaya. Saat ini, pertumbuhan ekonomi Sumatra didukung oleh sektor pertanian, pertambangan dan Perkebunan. Pemanfaatan sumber daya alam diatur pemerintah, dengan tujuan menjaga keseimbangan dan kelangsungan spesies-spesies tumbuhan dan satwa. Ekspor sumber daya alam, seperti kulit biawak dan gaharu, memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan berkontribusi pada perekonomian dan devisa negara. Pada tahun 2022 produksi hasil hutan kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) mengalami peningkatan signifikan, terutama dalam bentuk kayu dan produk olahannya. Provinsi Sumatra Selatan, Riau, Sumatra Utara, Jambi, Kepulauan Riau, dan Lampung adalah kontributor utama dalam ekspor hasil kehutanan. Namun penggunaan yang berlebihan dapat mengakibatkan kondisi over-exploited seperti pada umber daya ikan di sekitar ekoregion laut Sumatra. Penilaian ekonomi sumber daya alam menjadi penting untuk mempertimbangkan keseimbangan ekosistem. Di Sumatra, mangrove memberikan manfaat ekonomi yang signifikan, seperti sumber kayu, mata pencaharian, dan perlindung pantai, dengan nilai ekonomi mencapai 2,2 miliar rupiah per tahun. Selain itu, perkebunan kelapa sawit dan karet memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia, khususnya Provinsi Riau sebagai penghasil kelapa sawit terbesar. Bentuk lain dari pemanfaatan adalah layanan jasa ekosistem yang merupakan manfaat yang diberikan oleh ekosistem kepada manusia. Sumatra menyediakan sumber energi dari fosil dan terbarukan seperti panas bumi, matahari, dan air. PLTP Ulubelu di Lampung adalah contoh sukses, menyumbang 23% dari kebutuhan listrik provinsi dan mengurangi emisi karbon. Ekosistem lamun dan terumbu karang di Sumatra juga memberikan berbagai manfaat, seperti perlindungan pantai, rekreasi, dan sumber makanan,
Sebagian pengetahuan lokal masyarakat di Sumatra mengenai pemanfaatan sumber daya hayati telah didokumentasikan. Masyarakat adat dan lokal di Sumatra menggunakan tumbuhan untuk obat tradisional, bahan makanan, bahan bangunan, upacara adat, alat musik, ekonomi, ritual, kerajinan, dan banyak lagi. Sementara itu, dalam pemanfaatan hewan, hewan digunakan sebagai bahan makanan, obat-obatan, alat ritual, dan alat musik. Selain itu, Sumatra memiliki beragam kearifan lokal yang telah berkembang dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti pengelolaan sumber daya air, hutan, kebun, hasil hutan, dan sumber daya air, yang telah menjadi bagian berharga dari warisan budaya masyarakat Sumatra.
Pengelolaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati dan sumber daya hayati perlu mempertimbangkan keharmonisan alam dan manusia. Aktifitas manusia yang tidak memperhatikan kelangsungan alam telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati baik di ekosistem marine mapun daratan penangkapan berlebih, polusi, perubahan iklim, alih guna lahan, jenis asing invasive, kebakaran hutan, dan zoonosis adalah diantara beberapa ancaman yang membayangi kelestarian keanekaragaman hayati. Ekspansi aktivitas manusia ke habitat satwa liar, seperti pertanian, penebangan hutan, dan pembangunan infrastruktur, yang mereduksi habitat alami satwa liar, meningkatkan potensi bertemunya manusia dengan satwa liar sehingga dapat menyebabkan konflik satwa dan manusia. Oleh karena itu pembangunan dengan mempertimbangkan rencana pengelolaan dan pemanfaatan yang disesuaikan dengan karakter ekoregion penting untuk dilakukan sehingga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian dapat tercapai dan keselarasan hidup dengan alam dapat terwujud.
Achmadi dkk. 2024. EKoregion Sumatra. BRIN
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.