Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia

Authors

Anang Setiawan Achmadi
Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi

Keywords:

Kekinian, Keanekaragaman, Ekosistem, Jenis, Indonesia

Synopsis

Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, yang meliputi berbagai ekosistem, flora, fauna, mikroorganisme, serta sumber daya genetik. Keanekaragaman ekosistem di Indonesia sangat luas, mulai dari laut dangkal hingga laut dalam, pantai, daratan rendah, hingga hutan pegunungan. Terdapat 21 tipe ekosistem yang telah diidentifikasi di Indonesia, yang dibedakan menjadi ekosistem terestrial dan perairan. Ekosistem laut dan darat Indonesia memiliki keunikan, seperti ekosistem hutan Dipterokarpa, hutan gambut, savana, hingga terumbu karang, yang merupakan pusat keanekaragaman spesies tropis. Ekosistem ini bervariasi di seluruh pulau besar di Indonesia, seperti ekosistem pegunungan bawah, pegunungan atas, hingga zona nival di Papua.

Ekosistem laut di Indonesia meliputi zona neritik dan oseanik, serta berbagai mintakat yang berbeda berdasarkan kedalaman perairan. Beragam ekosistem seperti pantai, estuari, pantai berpasir, pantai berbatu, padang lamun, dan terumbu karang menjadi bagian penting dari keanekaragaman hayati laut di Indonesia. Saat ini, Indonesia memiliki hak dan wewenang pengelolaan laut seluas 6.400.000 km², termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 3.000.000 km², dengan 17.504 pulau dan garis pantai sepanjang 108.000 km (Kemenkomarves, 2021). Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki wilayah laut yang jauh lebih luas, mencakup 70% dari keseluruhan wilayahnya, sedangkan wilayah daratan hanya mencakup 30%. Sebagai contoh, ekosistem terumbu karang mencakup sekitar 25.000 km², berperan vital sebagai habitat bagi berbagai spesies laut.

Ekosistem limnik (air tawar) di Indonesia mencakup sungai dan danau. Sungai-sungai besar di Indonesia sudah mengalami degradasi akibat aktivitas manusia, seperti pencemaran industri dan tambang. Ekosistem danau di Indonesia mencakup 5.807 danau, dengan Danau Toba sebagai danau terluas dan Danau Matano sebagai yang terdalam. Keanekaragaman ekosistem Indonesia sangat kaya, namun juga menghadapi berbagai ancaman dari aktivitas manusia, seperti deforestasi, pencemaran, dan perubahan iklim, yang mengancam kelestariannya.

Indonesia, sebagai negara kepulauan, memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, meliputi tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme. Posisi geografis yang strategis turut menyumbang pada kekayaan ini, yang perlu terus diteliti dan dimanfaatkan untuk pangan, obat, dan kesejahteraan masyarakat. Kerja sama internasional dalam pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan mendorong pembaruan informasi tentang berbagai jenis kehati di Indonesia. Secara keseluruhan, keanekaragaman flora, fauna, dan mikroorganisme di Indonesia sangat vital untuk menjaga ekosistem yang sehat, serta memberikan kontribusi pada ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, upaya konservasi dan penelitian yang berkelanjutan sangat penting untuk melindungi kekayaan ini dari berbagai ancaman.

Keanekaragaman hayati laut di Indonesia sangat tinggi, hal ini karena posisi Indonesia yang terletak di dalam segitiga terumbu karang (Coral Triangle Area) dan memiliki potensi besar untuk penemuan spesies baru. Dari tahun 2014 hingga 2021, terjadi peningkatan jumlah spesies di berbagai taksa, termasuk ikan, krustasea, polychaeta, echinodermata, dan moluska. Namun, fauna laut menghadapi berbagai ancaman, baik yang bersifat alami maupun akibat aktivitas manusia, yang mengancam kelestariannya. Ikan dan mamalia laut, seperti hiu dan ikan napoleon, terancam karena tingginya permintaan pasar, sementara penyu laut masih dieksploitasi secara ilegal meskipun sudah mendapatkan perlindungan. Indonesia memiliki 569 jenis karang batu dan 56 jenis teripang yang diekspor dengan nilai ekonomi tinggi, namun kerusakan terumbu karang tetap menjadi masalah serius. Selain itu, tercatat 1.869 jenis krustasea dan 911 jenis makroalga, banyak di antaranya dimanfaatkan untuk industri. Berbagai ekspedisi internasional telah dilakukan untuk meneliti keanekaragaman hayati laut di Indonesia, menunjukkan bahwa potensi eksplorasi masih sangat tinggi. Penelitian dan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut sangat penting untuk menjaga ekosistem dan sumber daya laut di Indonesia.

Status kehati Indonesia juga mencakup informasi tentang jumlah spesies tumbuhan dan jamur, dengan data terbaru pada tahun 2021 mencatat 31.031 jenis, termasuk 871 jenis jamur makro. Meskipun terjadi penambahan jumlah spesies, terdapat penurunan total kekayaan jenis dibandingkan dengan tahun 2017 karena fokus hanya pada jamur makro. Sebagian besar kekayaan tumbuhan dan jamur terletak di Pulau Jawa, dengan Kalimantan sebagai pulau kedua terkaya. Namun, eksplorasi di pulau-pulau timur Indonesia masih terbatas, sehingga diperlukan strategi untuk mempercepat pengumpulan informasi dan penambahan peneliti taksonomi guna menggali potensi keanekaragaman hayati di wilayah tersebut.

Penambahan jumlah jenis terjadi hampir di semua kelompok tumbuhan dan penambahan terbanyak terjadi pada kelompok spermatofit yaitu Nymphaeales-Austrobaileyales, Magnoliids, Chloranthales, Monokotil, Ceratophyllales, dan Eudicots sebanyak 498 jenis, sedangkan pada Gimnosperma tidak ada penambahan jenis. Pada tahun 2021 jumlah jenis spermatofit yang sudah dilaporkan dari Indonesia mencapai 9,7 % (25.127 jenis) dari jumlah jenis spermatofit yang ada di dunia. Diperkirakan Indonesia mempunyai jumlah jenis spermatofit sekitar 13–15% dari jumlah jenis spermatofit yang ada di dunia.

Pengertian fauna terestrial dalam buku ini mencakup fauna yang menghuni ekosistem daratan, termasuk hewan darat dan akuatik di air tawar. Indonesia memiliki 81.260 jenis fauna, terbagi dalam dua filum: Chordata dan Invertebrata, dengan Vertebrata mencakup mamalia, burung (Aves), amfibi, reptil, dan ikan (Pisces). Aves memiliki jumlah tertinggi dengan 1.821 spesies, sementara Invertebrata didominasi oleh Insekta dengan 66.361 spesies.

Namun, data tentang keanekaragaman fauna mungkin belum sepenuhnya menggambarkan kekayaan fauna Indonesia, karena banyak daerah yang belum disurvei. Perkembangan teknologi penelitian, seperti metode molekuler, membuka peluang untuk mengidentifikasi taksa kriptik, tetapi kerusakan habitat dan perubahan iklim menjadi ancaman bagi fauna. Oleh karena itu, penting untuk mengungkap data keanekaragaman fauna sebelum terjadi kepunahan, serta untuk upaya konservasi dan pengelolaan ekosistem. Sebagai informasi tambahan terkait fauna lindungan, menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat 787 jenis satwa yang dilindungi, di mana 741 jenisnya adalah fauna terestrial. Ini mencakup spesies dalam CITES Appendix I dan II serta IUCN Red List yang berstatus terancam.

Keanekaragaman genetik di Indonesia, baik pada hewan maupun tumbuhan, memainkan peran penting dalam membantu makhluk hidup beradaptasi terhadap perubahan iklim dan menjaga ketahanan pangan. Pemuliaan tanaman dan penggunaan bioteknologi telah diterapkan untuk memperkuat ketahanan varietas tanaman, seperti padi, jagung, serta tanaman hortikultura lainnya. Dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, upaya konservasi dilakukan melalui pendekatan in-situ dan ex-situ, di mana kebun raya dan kawasan konservasi menjadi pusat pelestarian spesies langka dan endemik. Hingga tahun 2022, terdapat 48 kebun raya yang berfungsi untuk konservasi, penelitian, pendidikan, serta mendukung program reintroduksi spesies langka ke habitat aslinya.

Indonesia juga menghadapi tantangan dari spesies asing invasif yang mengancam ekosistem lokal. Oleh karena itu, strategi pencegahan dan pengendalian terus dilakukan untuk melindungi keanekaragaman hayati dari ancaman eksternal. Pemanfaatan keanekaragaman hayati di Indonesia meliputi berbagai bidang, termasuk ketahanan pangan, energi terbarukan, kesehatan, dan bioteknologi. Pengembangan energi bio, bioprospeksi untuk obat herbal, serta pemanfaatan sumber daya genetik untuk meningkatkan ketahanan pangan merupakan beberapa contoh nyata kontribusi keanekaragaman hayati Indonesia terhadap pembangunan nasional. Untuk menjaga kelestarian ini, diperlukan pengelolaan berkelanjutan serta kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan komunitas internasional, mengingat ancaman seperti perubahan iklim, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya alam yang masih menjadi tantangan besar di masa depan.

Downloads

Download data is not yet available.

References

Ackermann, H.W., 2011. Bacteriophage taxonomy. Microbiology Australia, 32(2), pp.90-94.

Anonim. 2009. UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta : Citra Umbara.

Adji, T. N., Sudarmadji, Woro, S., Hendrayana, H., Hariadi, B., 2006. The Distribution of Flood Hydrograph Recession Constant of Bribin River for Gunungsewu Karst Aquifer Characterization. Gunungsewu-Indonesian Cave and Karst Journal, Vol. 2. No. 2.

Agus, F. dan I. G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah Dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Indonesia. 36 hal.

Amalia, W., Samekto, A., & Prihatin, E. S. (2016). Perlindungan Hukum Kawasan Karst terhadap Kegiatan Pertambangan Kaitannya dengan Pengelolaan Lingkungan (Studi Kasus Penambangan Batu Gamping di Kawasan Karst Gombong Selatan, Kebumen, Jawa Tengah). Jurnal Law Reform, 12(1), 132–144.https://doi.org/10.14710/lr.v12i1.15846

Anggadiredja, J. T., Zatnika, A., Purwoto, H. dan Istini, S. 2009. Rumput Laut: Pembudidayaan, Pengolahan, & Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial. Depok : Penebar Swadaya.

Arifiani D. 2019a. Kekayaan Jenis Tumbuhan Berbiji: Nymphaeales-Austrabaileyales. Dalam: Retnowati, A., Rugayah, Rahajoe, J.S., & Arifiani, D. (Ed). Status Keanekaragaman Hayati Indonesia: Kekayaan Jenis Tumbuhan dan Jamur Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

Arifiani D. 2019b. Kekayaan Jenis Tumbuhan Berbiji: Magnoliids. Dalam: Retnowati, A., Rugayah, Rahajoe, J.S., & Arifiani, D. (Ed). Status Keanekaragaman Hayati Indonesia: Kekayaan Jenis Tumbuhan dan Jamur Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

APG (Angiosperm Phylogeny Group) IV. 2016. An update of the Angiosperm Phylogeny Group classification for the orders and families of flowering plants: APG IV. Bot. J. Linnean Soc. 181: 1–20.

Backer, C. A.; Brink, R.C. Bakhuizen van den. 1968. Flora of Java (Spermatophytes Only). Vol. III Wolters-Noordhoff, N.V. – Groningen-The Netherlands.

Badan Informasi Geospasial. 2013. Peta Rupa Bumi Lembar Palopo 2015-64 Edisi 1. Pusat Promosi dan Kerja Sama, Bogor

Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). 2022. Strategi 3R dalam Upaya Restorasi Gambut https://brgm.go.id/strategi-3r-dalam-upaya restorasigambut/?lang=id (diakses 7 Januari 2023)

Balazs, D. (1968). Karst Region in Indonesia. Karszt es Barlangkutatas.Vol.V Budapest.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENAS). 2016. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-2020. Jakarta, pp.289.

Bielke, L., Higgins, S., Donoghue, A., Donoghue, D., & Hargis, B. M. (2007). Salmonella Host Range of Bacteriophages That Infect Multiple Genera. Poultry Science, 86(12), 2536–2540. https://doi.org/10.3382/ps.2007-00250

Botha, A. 2011. The Importance and Ecology of Yeasts in Soil. Soil Biology and Biochemistry, 43, 1–8. doi: 10.1016/j.soilbio.2010.10.001.

BPS. 2021. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2021. Livestock and Animal Health Statistics 2021.Penerbit : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI.

Brahmantiyo B, Raharjo YC. 2009. Karakteristik Karkas dan Potongan Komersial Kelinci Rex dan Satin. Laporan Hasil Penelitian. Bogor (Indonesia): Balai Penelitian Ternak.

Breitbart, M., Miyake, J.H. and Rohwer, F., 2004. Global distribution of nearly identical phage-encoded DNA sequences. FEMS microbiology letters, 236(2), pp.249-256.

Brinkman, R., Garren, S., J., 2011.Karst and Sustainability. Karst Management. DOI : 10.1007/ 978-94-007-1207-2_16.

Budiyanto, e. 2013. Kerentanan Ekosistem Karst yang Ditimbulkan oleh Pola Pemanfaatan Air Telaga Karst di Dusun Wuni Desa Karangtengah Kecamatan Purwosari Kabupaten Gunungkidul. Unesa. Surabaya. 13pp.

Burung Indonesia. 2021. Infografis Status Burung di Indonesia 2021.

Cámara-Leret, R., Frodin, D.G., Adema, F., Anderson, C., Appelhans, M.S., Argent, G., Arias Guerrero, S., Ashton, P., Baker, W.J., Barfod, A.S. and Barrington, D., 2020. New Guinea has the world’s richest island flora. Nature, 584 (7822), pp.579-583.

Carrol, G. C. 1988. Fungal Endophytes in Stems and Leaves. From Latent Patogens to Mutualistic Symbiont. Journal of Ecology. Vol. 69 No. 1: 2-9.

Chase, M.W., Soltis, D.E., Olmstead, R.G., Morgan, D., Les, D.H., Mishler, B.D., & Albert, V. A. 1993. Phylogenetics of seed plants: An analysis of nucleotide sequences from the plastid gene rbcL. Ann. Missouri Bot. Gard, 80: 528–580.

Chaudhary, H.S., Soni, B., Shrivastava, A.R. and Shrivastava, S., 2013. Diversity and versatility of actinomycetes and its role in antibiotic production. Journal of Applied Pharmaceutical Science, 3(8,), pp.S83-S94.

Chi, Z., Wang, F., Chi, Z., Yue, L., Liu, G., & Zhang, T. (2009). Bioproducts from Aureobasidium pullulans, a biotechnologically important yeast. Applied microbiology and biotechnology, 82, 793-804.

CITES. 2021. CITES Appendices I, II and III valid from 14.02.2021. https://cites.org › sites › default › files › eng › app [in pdf]. download 8 Januari 2023.

Clay, K. 1988. Fungal Endophytes of Grasses : A Defensive Mutualism Between Plants and Fungi. Ecology. 69 (1) : 10-16.

Cronquist, A. 1981. An integrated system of classification of flowering plants. New York: Columbia University Press.

Crosby, M.R., Magill, R.E., Allen, B., & He, S. 2000. A checklist of the Mosses. St. Louis, Missouri, USA: Missouri Botanical Garden. Diakses pada 2 Mei 2017 dari http://www.mobot.org/MOBOT/tropicos/most/checklist.shtml.

Curran, L.M. & Webb, C.O. 2000. Experimental Tests of The Spatiotemporal Scale of Seed Predation in Mast-Fruiting Dipterocarpaceae. Ecol. Monogr. 70, 129–148.

DAD-IS. 2022. Domestic Animal Diversity Information System. https://www.fao.org/ dad-is/en/. (diakses pada tanggal 13 November 2022)

Das, S., Lyla, P.S. and Ajmal Khan, S., 2008. Distribution and generic composition of culturable marine actinomycetes from the sediments of Indian continental slope of Bay of Bengal. Chinese Journal of Oceanology and Limnology, 26, pp.166-177.

Dahuri R. 1992. Strategi Penelitian Estuari di Indonesia. Pros. Loka. Nas. Peny. Prog. Pen. Bio. Kelautan dan Proses Dinam.Pesisir. UNDIP, Semarang.

Dawidziuk A, Popiel D, Kaczmarek J, Strakowska J, Jedryczka M. 2016. Morphological and Molecular Properties of Trichoderma Species Help to Control Stem Canker of Oilseed Rape. BioControl.

Published

October 10, 2024

Categories