Penerbit BRIN
https://penerbit.brin.go.id/press
<p><span style="font-weight: 400;"><strong>BRIN Publishing</strong> is a scientific publishing. </span><span style="font-weight: 400;">Our main work revolves around planning, acquiring, designing, and distributing scientific knowledge to the public.</span></p>en-USPenerbit BRINETNOMUSIKOLOGI DAN ISU-ISU TERKINI DI SELINGKARNYA
https://penerbit.brin.go.id/press/catalog/book/1029
<p>Etnomusikologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari musik dalam konteks budaya manusia. Dalam era globalisasi yang semakin terkoneksi, pemahaman tentang etnomusikologi menjadi semakin penting karena melintasi batas-batas budaya dan membuka jendela ke dalam kekayaan warisan musikal yang tersebar di seluruh dunia. Studi etnomusikologi memungkinkan kita untuk merespons dinamika perubahan budaya terus-menerus. Dalam era modern, musik menjadi salah satu wadah utama bagi perubahan sosial dan ekspresi identitas budaya.</p> <p>Buku <em>Etnomusikologi dan Isu-Isu Terkini di Selingkarnya </em>diharapkan tidak hanya menjadi sumber informasi dan pengetahuan, tetapi juga dapat menjadi dorongan untuk meningkatkan pemahaman dan apresiasi terhadap etnomusikologi sebagai bidang studi yang relevan dan bermanfaat bagi perkembangan budaya dan musik di Indonesia dan dunia.</p>Aris Setiawan
Copyright (c) 2024 National Research and Innovation Agency
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-312024-10-31Menghadapi Bencana, Mengubah Masa Depan: Transformasi Sistem Penghidupan yang Tangguh
https://penerbit.brin.go.id/press/catalog/book/943
<p>Berbicara soal bencana menjadi tantangan di Indonesia. bukan soal tema yang mainstream dan banyak dibicarakan, tetapi isu tersebut memang sudah selayaknya menjadi perhatian banyak pihak. Buku ini berusaha turut serta ambil bagian dengan memotret pengupayaan Masyarakat Tangguh bencana melalui strategi afirmasi aksi sistem penghidupan di lereng Merapi dan kelud. Buku ini mencoba menawarkan pendekatan mitigasi institusi sosio-ekonomi di area bencana dengan menghadirkan kembali konsep lumbung pangan yang selama ini mulai tergerus arus zaman.</p> <p>Institusi sosial ekonomi menjadi nadi pemulihan kehidupan komunitas rawan bencana. Bantuan yang datang seringkali bersifat <em>on the spot</em> pada momen ketika bencana berlangsung dan lebih cenderung memprioritaskan perbaikan yang bersifat fisik (layanan kesehatan, pangan, sandang, pengungsian), sedangkan aspek keberlanjutan sosial ekonomi komunitas menjadi kabur. Institusi sosial ekonomi yang Tangguh menjadi salah satu pilar yang harus dibangun untuk mempercepat pemulihan suatu komunitas pasca bencana.</p> <p>Pendekatan yang ditawarkan buku ini menjadi salah satu refleksi atas kesenjangan perhatian pada aspek penghidupan Masyarakat rawan bencana. Tidak hanya menyoal kerentanan dan resiliensi, tetapi buku ini berusaha mengajak pembaca untuk menyelami memori kebencanaan dan menguak ketakutan-ketakutan baru yang menghantui mereka sehingga analisis yang ditawarkan menjadi lebih dinamis.</p>Rachmini SaparitaDjoko Puguh WibowoReza Amarta PrayogaEko WahyonoSiti FatimahLis PurbandiniNuzul SolekhahFatwa Nurul HakimJainu
Copyright (c) 2024 Rachmini Saparita, Djoko Puguh Wibowo, Reza Amarta Prayoga, Eko Wahyono, Siti Fatimah, Lis Purbandini, Nuzul Solekhah, Fatwa Nurul Hakim, & Jainu
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-282024-10-28Kamus 8 Etnis di Sumatra Utara: Komunikasi Sehari-hari
https://penerbit.brin.go.id/press/catalog/book/778
<p><em>Buku Kamus 8 Etnis di Sumatra Utara: Komunikasi Sehari-hari</em> ini disusun berdasarkan latar belakang pola penggunaan bahasa daerah yang cenderung mengkhawatirkan, terutama generasi muda yang kurang peduli terhadap pelestarian bahasa daerahnya dan lebih ke arah bahasa gaul berbasis media sosial. Penyusun telah menabulasi entri data bahasa daerah delapan etnis khas Sumatra Utara yang diorientasikan pada penggunaan bahasa keseharian masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Semua data yang dientri merupakan data hasil analisis tim penyusun yang pilihan diksinya memang aktif digunakan sebagai bahasa sosial masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan. Penyusunan kamus ini berorientasi pada kosakata bahasa Indonesia yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa daerah khas delapan etnis Sumatra Utara. Selain itu, juga dilengkapi dengan contoh penggunaan kosakata bahasa daerah ke dalam bentuk ujaran untuk memudahkan pembaca dalam pemakaian.</p> <p>Penyusunan kamus ini merupakan suatu bentuk upaya untuk menyuguhkan kebaruan dalam literasi keberagaman dan kekayaan budaya dan bahasa di Indonesia. Penyusunan kamus ini juga diharapkan dapat membantu baik masyarakat Sumatra Utara maupun pelajar dan pengajar dalam menggunakan kosakata bahasa daerah untuk keperluan komunikasi sehari-hari dan dijadikan referensi dalam pembelajaran muatan lokal di tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Buku kamus ini sangat baik dan diperlukan bagi masyarakat Sumatra Utara dan pengguna bahasa di berbagai daerah dalam mempertahankan keutuhan bahasa daerah.</p> <p>Selamat membaca!</p>Muhammad SuripSyairal Fahmy DalimuntheSumarsono
Copyright (c) 2024 M. Surip, Syairal Fahmi Dalimunthe, Sumarsono
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-242024-10-24Upacara Tabuik: Mengelola Konflik Melalui Musik pada Masyarakat Minangkabau
https://penerbit.brin.go.id/press/catalog/book/903
<p>Upacara Tabuik merupakan representasi dari kisah peperangan Husein bin Ali bin Abi Thalib yang direkonstruksi dalam bentuk ritual upacara oleh masyarakat Minangkabau di Pariaman, Sumatra Barat. Rangkaian elemen ritual terdiri dari bagian-bagian simultan, yang di antaranya adalah ‘peperangan’ yang diiringi oleh permainan musik <em>sosoh</em>. ‘Peperangan’ yang dimaksud merupakan pertemuan dua kelompok Tabuik di arena, yang merupakan klimaks dari rangkaian upacara. Musik sosoh yang dimainkan dalam momen ini adalah kekuatan untuk membangun sikap kebertahanan dua kelompok terhadap satu dan lainnya.</p> <p><em>Ucapara Tabuik: Mengelola Konflik Melalui Musik pada Masyarakat Minangkabau</em>, ditulis oleh seorang putra Minangkabau yang menekuni bidang seni dan budaya Minangkabau, memaparkan bagaimana kajian terhadap sikap kebertahanan masyarakat tampak dalam ritual peperangan upacara Tabuik. Diawali dengan pembahasan terhadap konflik dalam masyarakat dan sikap kebertahanan sistem sosial terhadapnya, buku ini kemudian menjelaskan perjalanan menuju perwujudan sikap kebertahanan dalam ruang lingkup upacara Tabuik dan musik <em>sosoh</em>.</p> <p>Buku ini merupakan kontribusi acuan dalam berbagai kajian, terutama kebudayaan daerah, nilai dalam masyarakat, serta isu-isu masyarakat dalam budaya lainnya. Berbagai kalangan, terutama anda yang berperan sebagai masyarakat, mahasiswa, seniman, hingga peneliti, akan mendapatkan buku ini memperkaya rujukan bidang ilmu tersebut. </p>Cameron Malik
Copyright (c) 2024 National Research and Innovation Agency
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-162024-10-16Inovasi dan Beragama Maslahat: Menuju Indonesia Emas 2045
https://penerbit.brin.go.id/press/catalog/book/978
<p><span id="cell-13594-contents" class="gridCellContainer"><span class="label">Beragama <em>maslahat</em> merupakan cara beragama yang menghadirkan kebaikan bersama (<em>common good, public interest</em>). Lawan beragama <em>maslahat</em> adalah beragama <em>mafsadat </em>(<em>causing damage, ruin</em>)<em>. </em>Beragama <em>maslahat</em> melihat agama sebagai sesuatu yang positif, <em>problem solver</em>, dan spirit untuk kemajuan bangsa. Beragama maslahat adalah beragama yang selaras dengan konsensus berbangsa: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinekka Tunggal Ika. Agama yang menjadi solusi atas berbagai persoalan bangsa, bukan sebaliknya. Beragama <em>maslahat</em> penting sebagai strategi untuk menyongsong Indonesia emas 2045.</span></span></p> <p><span class="gridCellContainer"><span id="cell-13594-contents" class="gridCellContainer"><span class="label">Buku<em> Inovasi dan Beragama Maslahat: Menuju Indonesia Emas 2045</em> menghadirkan diskusi awal tentang dua hal, yakni inovasi beragama dan beragama maslahat. Inovasi beragama dimaknai sebagai kebaruan dalam pemikiran dan praktik beragama yang dilandasi semangat perubahan untuk kemaslahatan bersama. Berbagai bentuk inovasi (termasuk cara beragama) bertujuan untuk menjadi landasan kamajuan bangsa. Kebijakan ”beragama maslahat” ini potensial dapat menjadi program payung, menyempurnakan kebijakan ”moderasi beragama” dalam 10 tahun pemerintahan Jokowi.</span></span></span></p> <p><span class="gridCellContainer"><span class="gridCellContainer"><span id="cell-13594-contents" class="gridCellContainer"><span class="label">Buku ini diharapkan dapat menjadi bacaan untuk para mahasiswa dan dosen agama, sarjana agama, tokoh agama, periset bidang sosial keagamaan, serta sivitas akademika di UIN, IAIN, dan perguruan tinggi keagamaan, serta <em>stakeholders</em> lainnya. Buku ini juga dapat menjadi rujukan penting bagi para pengambil kebijakan di Kementerian Agama RI terkait tata kelola agama di Indonesia.</span></span></span></span></p>Aji Sofanudin
Copyright (c) 2024 National Research and Innovation Agency
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-152024-10-15Teori-Teori Governansi dan Kebijakan Publik Kontemporer
https://penerbit.brin.go.id/press/catalog/book/998
<p>Para ahli administrasi seringkali menggunakan istilah <em>“governance”</em> dalam administrasi publik, yang paling sering dikaitkan dengan birokrasi. G<em>overnance</em> merupakan sebuah tata kelola bersama yang bersifat jejaring dalam membangun kelembagaan untuk menangani permasalahan publik yang ada di masyarakat secara mendesak dengan mekanisme kolaborasi. Teori tata kelola pemerintahan <em>(governance)</em> bergerak secara dinamis dari waktu ke waktu dan dapat menyesuaikan dengan problematika publik yang berkembang secara kompleks.</p> <p>Kajian governansi dan kebijakan publik merupakan kajian yang selalu menarik dibahas oleh berbagai kalangan, utamanya dalam bidang ilmu administrasi publik, ekonomi, sosial dan politik. Banyaknya ketidakpastian, keambiguan serta kompleksnya permasalahan dalam sebuah tata kelola pemerintahan bersama atau <em>governance</em> memberikan nuansa menarik yang ada dalam bidang ini. Dalam tataran praktis pemerintah dan berbagai aktor <em>governance</em> lain meliputi swasta, masyarakat, media dan universitas harus membuat sebuah skema dalam menciptakan bagaimana kebijakan publik yang dibuat harus bisa memenuhi tuntutan dan harapan masyarakat secara luas dalam urusan pembangunan yang ada.</p> <p>Buku <em>Teori-teori Governansi dan Kebijakan Publik Kontemporer </em>hadir untuk menginformasikan dan memberikan wawasan kepada masyarakat mengenai pendekatan teoritis governansi dan kebijakan publik secara kontemporer yang menyesuaikan dengan keadaan dan perkembangan zaman yang ada saat ini. Dengan harapan buku ini dapat membangun literasi yang ada dalam bidang ilmu sosial dan politik utamanya terkait ilmu administrasi publik, kebijakan publik dan governansi publik sebagai suatu kajian menarik dalam bidang ilmu administrasi.</p>Ramaditya Rahardian
Copyright (c) 2024 Ramaditya Rahardian
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-142024-10-14Teori-Teori Pembelajaran Musik
https://penerbit.brin.go.id/press/catalog/book/810
<p>Musik sebagai ilmu pengetahuan terus berkembang dan menghasilkan berbagai teori. Secara umum, teori musik adalah studi tentang praktik bermusik dan potensi yang dihasilkan melalui musik, yang dapat ditransfer dari pengajar kepada murid melalui pendidikan. Teori-teori ini berkembang dalam konteks kebudayaan dan ilmu pendidikan musik, berdasarkan psikologi perilaku dan kognitif, untuk menentukan cara belajar siswa agar tercapai efektivitas pembelajaran. Buku <em>Teori-Teori Pembelajaran Musik</em> hadir untuk memberikan wawasan, informasi, dan penjelasan teoretis, serta konseptual tentang praktik pembelajaran musik dari waktu ke waktu. Buku ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai kalangan, termasuk pengajar, instruktur, jurnalis, peneliti, penulis, hingga tim pengembangan kurikulum di bidang musik. Dengan harapan, penguasaan teori-teori musik ini akan memengaruhi pengetahuan dan tindakan para edukator musik, terutama dalam menghadapi perkembangan zaman.</p>Riyan Hidayatullah
Copyright (c) 2024 Riyan Hidayatullah
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-112024-10-11Pengantar Sistem Proteksi Radiasi
https://penerbit.brin.go.id/press/catalog/book/873
<p>Selain membawa manfaat yang sangat besar, penggunaan tenaga nuklir diketahui memiliki efek yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Efek radiasi yang dihasilkan dari tenaga nuklir dapat berupa efek deterministik (reaksi jaringan) ataupun stokastik. Untuk mencegah terjadinya efek tersebut, perlu dilakukan tindakan proteksi radiasi. Secara luas, proteksi radiasi mencakup semua upaya, pemahaman, dan tindakan untuk memberikan perlindungan dari efek radiasi yang berbahaya. </p> <p>Buku <em>Pengantar Sistem Proteksi Radiasi</em> menguraikan sistem proteksi radiasi yang menjadi dasar untuk penerapan proteksi radiasi praktis di lapangan. Sistem ini diperkenalkan oleh Komisi Internasional untuk Proteksi Radiasi (ICRP) yang memberikan rekomendasi terkait nilai batas dosis yang boleh diterima oleh seseorang. Pada dasarnya, sistem proteksi radiasi terdiri atas prinsip proteksi radiasi, kategori pajanan, situasi pajanan, dan pendekatan dalam memperhitungkan besar dosis radiasi.</p> <p>Sistem proteksi radiasi merupakan hal yang wajib dipahami bagi para pekerja, peneliti, dan pemerhati bidang nuklir untuk meminimalisasi dampak dari efek radiasi. Walaupun praktisi proteksi radiasi di Indonesia telah cukup banyak, masih sangat sedikit informasi yang tersedia untuk menjelaskan sistem proteksi radiasi dari sisi teoretis secara komprehensif. Buku ini dimaksudkan untuk mengisi kekurangan tersebut.</p>Eri HiswaraSuzie Darmawati
Copyright (c) 2024 National Research and Innovation Agency
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-112024-10-11Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia
https://penerbit.brin.go.id/press/catalog/book/1453
<p>Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, yang meliputi berbagai ekosistem, flora, fauna, mikroorganisme, serta sumber daya genetik. Keanekaragaman ekosistem di Indonesia sangat luas, mulai dari laut dangkal hingga laut dalam, pantai, daratan rendah, hingga hutan pegunungan. Terdapat 21 tipe ekosistem yang telah diidentifikasi di Indonesia, yang dibedakan menjadi ekosistem terestrial dan perairan. Ekosistem laut dan darat Indonesia memiliki keunikan, seperti ekosistem hutan Dipterokarpa, hutan gambut, savana, hingga terumbu karang, yang merupakan pusat keanekaragaman spesies tropis. Ekosistem ini bervariasi di seluruh pulau besar di Indonesia, seperti ekosistem pegunungan bawah, pegunungan atas, hingga zona nival di Papua.</p> <p>Ekosistem laut di Indonesia meliputi zona neritik dan oseanik, serta berbagai mintakat yang berbeda berdasarkan kedalaman perairan. Beragam ekosistem seperti pantai, estuari, pantai berpasir, pantai berbatu, padang lamun, dan terumbu karang menjadi bagian penting dari keanekaragaman hayati laut di Indonesia. Saat ini, Indonesia memiliki hak dan wewenang pengelolaan laut seluas 6.400.000 km², termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 3.000.000 km², dengan 17.504 pulau dan garis pantai sepanjang 108.000 km (Kemenkomarves, 2021). Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki wilayah laut yang jauh lebih luas, mencakup 70% dari keseluruhan wilayahnya, sedangkan wilayah daratan hanya mencakup 30%. Sebagai contoh, ekosistem terumbu karang mencakup sekitar 25.000 km², berperan vital sebagai habitat bagi berbagai spesies laut.</p> <p>Ekosistem limnik (air tawar) di Indonesia mencakup sungai dan danau. Sungai-sungai besar di Indonesia sudah mengalami degradasi akibat aktivitas manusia, seperti pencemaran industri dan tambang. Ekosistem danau di Indonesia mencakup 5.807 danau, dengan Danau Toba sebagai danau terluas dan Danau Matano sebagai yang terdalam. Keanekaragaman ekosistem Indonesia sangat kaya, namun juga menghadapi berbagai ancaman dari aktivitas manusia, seperti deforestasi, pencemaran, dan perubahan iklim, yang mengancam kelestariannya.</p> <p>Indonesia, sebagai negara kepulauan, memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, meliputi tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme. Posisi geografis yang strategis turut menyumbang pada kekayaan ini, yang perlu terus diteliti dan dimanfaatkan untuk pangan, obat, dan kesejahteraan masyarakat. Kerja sama internasional dalam pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan mendorong pembaruan informasi tentang berbagai jenis kehati di Indonesia. Secara keseluruhan, keanekaragaman flora, fauna, dan mikroorganisme di Indonesia sangat vital untuk menjaga ekosistem yang sehat, serta memberikan kontribusi pada ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, upaya konservasi dan penelitian yang berkelanjutan sangat penting untuk melindungi kekayaan ini dari berbagai ancaman.</p> <p>Keanekaragaman hayati laut di Indonesia sangat tinggi, hal ini karena posisi Indonesia yang terletak di dalam segitiga terumbu karang (<em>Coral Triangle Area</em>) dan memiliki potensi besar untuk penemuan spesies baru. Dari tahun 2014 hingga 2021, terjadi peningkatan jumlah spesies di berbagai taksa, termasuk ikan, krustasea, polychaeta, echinodermata, dan moluska. Namun, fauna laut menghadapi berbagai ancaman, baik yang bersifat alami maupun akibat aktivitas manusia, yang mengancam kelestariannya. Ikan dan mamalia laut, seperti hiu dan ikan napoleon, terancam karena tingginya permintaan pasar, sementara penyu laut masih dieksploitasi secara ilegal meskipun sudah mendapatkan perlindungan. Indonesia memiliki 569 jenis karang batu dan 56 jenis teripang yang diekspor dengan nilai ekonomi tinggi, namun kerusakan terumbu karang tetap menjadi masalah serius. Selain itu, tercatat 1.869 jenis krustasea dan 911 jenis makroalga, banyak di antaranya dimanfaatkan untuk industri. Berbagai ekspedisi internasional telah dilakukan untuk meneliti keanekaragaman hayati laut di Indonesia, menunjukkan bahwa potensi eksplorasi masih sangat tinggi. Penelitian dan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut sangat penting untuk menjaga ekosistem dan sumber daya laut di Indonesia.</p> <p>Status kehati Indonesia juga mencakup informasi tentang jumlah spesies tumbuhan dan jamur, dengan data terbaru pada tahun 2021 mencatat 31.031 jenis, termasuk 871 jenis jamur makro. Meskipun terjadi penambahan jumlah spesies, terdapat penurunan total kekayaan jenis dibandingkan dengan tahun 2017 karena fokus hanya pada jamur makro. Sebagian besar kekayaan tumbuhan dan jamur terletak di Pulau Jawa, dengan Kalimantan sebagai pulau kedua terkaya. Namun, eksplorasi di pulau-pulau timur Indonesia masih terbatas, sehingga diperlukan strategi untuk mempercepat pengumpulan informasi dan penambahan peneliti taksonomi guna menggali potensi keanekaragaman hayati di wilayah tersebut.</p> <p>Penambahan jumlah jenis terjadi hampir di semua kelompok tumbuhan dan penambahan terbanyak terjadi pada kelompok spermatofit yaitu Nymphaeales-Austrobaileyales, <em>Magnoliids</em>, Chloranthales, Monokotil, Ceratophyllales, dan <em>Eudicots</em> sebanyak 498 jenis, sedangkan pada Gimnosperma tidak ada penambahan jenis. Pada tahun 2021 jumlah jenis spermatofit yang sudah dilaporkan dari Indonesia mencapai 9,7 % (25.127 jenis) dari jumlah jenis spermatofit yang ada di dunia. Diperkirakan Indonesia mempunyai jumlah jenis spermatofit sekitar 13–15% dari jumlah jenis spermatofit yang ada di dunia.</p> <p>Pengertian fauna terestrial dalam buku ini mencakup fauna yang menghuni ekosistem daratan, termasuk hewan darat dan akuatik di air tawar. Indonesia memiliki 81.260 jenis fauna, terbagi dalam dua filum: Chordata dan Invertebrata, dengan Vertebrata mencakup mamalia, burung (Aves), amfibi, reptil, dan ikan (Pisces). Aves memiliki jumlah tertinggi dengan 1.821 spesies, sementara Invertebrata didominasi oleh Insekta dengan 66.361 spesies.</p> <p>Namun, data tentang keanekaragaman fauna mungkin belum sepenuhnya menggambarkan kekayaan fauna Indonesia, karena banyak daerah yang belum disurvei. Perkembangan teknologi penelitian, seperti metode molekuler, membuka peluang untuk mengidentifikasi taksa kriptik, tetapi kerusakan habitat dan perubahan iklim menjadi ancaman bagi fauna. Oleh karena itu, penting untuk mengungkap data keanekaragaman fauna sebelum terjadi kepunahan, serta untuk upaya konservasi dan pengelolaan ekosistem. Sebagai informasi tambahan terkait fauna lindungan, menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat 787 jenis satwa yang dilindungi, di mana 741 jenisnya adalah fauna terestrial. Ini mencakup spesies dalam CITES Appendix I dan II serta IUCN Red List yang berstatus terancam.</p> <p>Keanekaragaman genetik di Indonesia, baik pada hewan maupun tumbuhan, memainkan peran penting dalam membantu makhluk hidup beradaptasi terhadap perubahan iklim dan menjaga ketahanan pangan. Pemuliaan tanaman dan penggunaan bioteknologi telah diterapkan untuk memperkuat ketahanan varietas tanaman, seperti padi, jagung, serta tanaman hortikultura lainnya. Dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, upaya konservasi dilakukan melalui pendekatan in-situ dan ex-situ, di mana kebun raya dan kawasan konservasi menjadi pusat pelestarian spesies langka dan endemik. Hingga tahun 2022, terdapat 48 kebun raya yang berfungsi untuk konservasi, penelitian, pendidikan, serta mendukung program reintroduksi spesies langka ke habitat aslinya.</p> <p>Indonesia juga menghadapi tantangan dari spesies asing invasif yang mengancam ekosistem lokal. Oleh karena itu, strategi pencegahan dan pengendalian terus dilakukan untuk melindungi keanekaragaman hayati dari ancaman eksternal. Pemanfaatan keanekaragaman hayati di Indonesia meliputi berbagai bidang, termasuk ketahanan pangan, energi terbarukan, kesehatan, dan bioteknologi. Pengembangan energi bio, bioprospeksi untuk obat herbal, serta pemanfaatan sumber daya genetik untuk meningkatkan ketahanan pangan merupakan beberapa contoh nyata kontribusi keanekaragaman hayati Indonesia terhadap pembangunan nasional. Untuk menjaga kelestarian ini, diperlukan pengelolaan berkelanjutan serta kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan komunitas internasional, mengingat ancaman seperti perubahan iklim, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya alam yang masih menjadi tantangan besar di masa depan.</p>Anang Setiawan Achmadi
Copyright (c) 2024 National Research and Innovation Agency
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-102024-10-10Ekoregion Sumatra
https://penerbit.brin.go.id/press/catalog/book/1401
<p>Buku Ekoregion Sumatra menyajikan data dan informasi terkini mengenai kondisi keanekaragaman hayati yang ada di Pulau Sumatra, pulau-pulau kecil, dan wilayah laut disekitar Sumatra. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, kenaekaragaman hayati memiliki 3 tingkatan yaitu ekosistem, spesies dan genetik. Pada buku Ekoregion Sumatra ini, pembahasan difokuskan pada keanekaragaman ekosistem dan spesies, tanpa mengurangi nilai penting keanekaragaman genetik untuk pembangunan berkelanjutan.</p> <p>Pulau Sumatra yang memiliki luas 473.481 km<sup>2 </sup>merupakan pulau tersebar kedua di Indonesia dan merupakan salah satu pulau yang memiliki sejarah panjang penelitian alam. Karakteristik bentang alam Sumatra sangat berkaitan dengan sejarah geologis pementukannya yang tidak dapat dipisahkan dengan Semenanjung Malaysia, dan dikenal sebagai Paparan Sunda (<em>Sundaland</em>). Pergeseran lempeng teknonik selama proses pembentukan Pulau Sumatra berkontribusi pada pembentukan barisan gunung berapi di sepanjang pantai barat Sumatra dari utara hingga selatan. Formasi batuan dan iklim Pulau Sumatra yang dipengaruhi oleh kondisi geografis dan atmosfir, membentuk karakteristik ekosistem, serta flora dan fauna yang khas untuk Sumatra dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Daerah pegunungan di barat Sumatra memiliki iklim tropis dengan suhu yang sejuk, sedangkan daerah pantai dan dataran rendah di timur Sumatra memiliki iklim tropis dengan suhu yang lebih panas. Hal yang sama dapat dijumpai untuk karakteristik perairan laut, sebelah barat dan selatan yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia memiliki topografi dasar laut yang curam dengan gelombang besar dan arus yang kuat. Sementara, perairan sebelah timur yang berbatasan dengan Selat Malaka, Laut Natuna dan Selat Karimata memiliki topografi dasar laut yang dangkal, gelombang kecil dan arus yang lemah. Dalam pengelolaan ruang laut, perairan laut di sekitar Pulau Sumatra dibagi menjadi 6 ekoregion laut, yaitu Samudra Hindia sebelah Barat Sumatra, Samudra Hindia sebelah Selatan Jawa, Selat Malaka, Laut Natuna, Selat Karimata dan Laut Jawa. Meskipun menggunakan isilah ekoregion juga, penetapan ekoregion laut dilakukan untuk mempermudah pengelolaan ruang laut dengan memperhatikan karakteristik keanekaragaman hayati, oseanogradi dan kimia laut yang berbeda serta pengaruh geomorfologi dasar laut.</p> <p>Keanekaragaman ekosistem dapat ditemukan mulai dari laut dangkal, pesisir pantai hingga pegunungan tinggi yang memanjang disisi barat Sumatra dari utara hingga Selatan. Secara umum ekosistem dapat dikelompokkan menjadi eksositem alam dan ekosistem buatan, yaitu ekosistem yang terbentuk karena ada campur tangan manusia. Data tahun 2021 menunjukkan bahwa ekosistem buatan di Sumatra mencapai 42% dari total luas daratan Sumatra. Penurunan luas tutupan hutan di Sumatra selama 30 tahun terakhir (1990-2021) tidak dapat dipungkiri karena adanya perubahan tata guna lahan untuk pemukiman, pertanian dan perkebunan. Hutan lahan kering sekunder dan hutan rawa sekunder cenderung menurun, sementara lahan pertanian, sawah, perkebunan dan permukiman cenderung naik. Sehingga luas total wilayah berhutan di Sumatra tersisa sekitar 37% dari total luas daratan Sumatra. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan perlu dilakukan dengan tetap mempertahankan wilayah berhutan yang menjadi penyangga kehidupan seluruh mahluk hidup.</p> <p>Informasi mengenai wilayah berhutan yang secara detail dapat dibedakan menjadi beberapa tipe ekosistem masih belum dikumpulkan dalam suatu sistem informasi yang dapat digunakan oleh pengambil kebijakan dalam menentukan prioritas pembangunan. Oleh karena itu, buku Ekoregion Sumatra ini menyajikan informasi mendetail berdasarkan data saintifik yang tersedia untuk 16 tipe ekosistem alami. Komposisi flora dan fauna yang menjadi karakteristik dari tiap ekosistem dijelaskan mendetail, begitu pula dengan luasan dan lokasi sebaran masing-masing tipe ekosistem tersebut.</p> <p>Ekosistem alami tersebut meliputi ekosistem marine terdiri dari terumbu karang dan padang lamu; ekosistem semiterrestrial terdiri dari hutan mangrove dan riparian, ekosistem limnik terdiri dari sungai dan danau; ekosistem terrestrial yang terdiri dari ekosistem hutan pamah dan hutan pegunungan. Hutan pamah memiliki tipe ekosistem paling beragam, terdiri dari ekosistem pantai, hutan dipterokarpa, hutan kerangas, rawa, gambut, karst serta savana dan padang rumput. Sedangkan hutan pegunungan terdiri dari hutan pegunungan bawah, hutan pegunungan atas, dan sub-alpin. Meskipun informasi mengenai karakteristik masing-masing tipe ekosistem tersebut berhasil dihimpun, namun total luasan dari masing-masing ekosistem masih belum dapat diketahui kecuali untuk ekosistem mangrove, gambut, karst serta savana dan padang rumput. Sumatra memiliki ekosistem gambut terluas di Indonesia, dan ekosistem karst terluas ketiga setelah Papua dan Kalimantan. Gap informasi terbesar dapat ditemukan pada ekosistem pegunungan, terutama pegunungan atas (1500 – 3000 m dpl) dan sub-alpine (diatas 3000 m dpl). Sedikit sekali literatur yang menjelaskan kedua tipe hutan tersebut di Sumatra. </p> <p>Selain keanekaragaman ekosistem, Sumatra juga menyimpan keanekaragaman flora fauna laut dan terrestrial yang tinggi. Pada tingkat spesies, keanekaragaman hayati spesies di Sumatra dipengaruhi oleh letak geografis dan sejarah geologis pembentukan pulau. Pulau-pulau kecil yang tidak terhubung langsung dengan Pulau Sumatra memungkinkan terjadinya migrasi, pertukaran, isolasi ekologis dan proses suksesi yang memperkaya keanekaragaman species di ekoregion ini.</p> <p>Kawasan laut di sekitar wilayah perairan Sumatra memiliki potensi keanekaragaman flora laut, antara lain lamun dan makroalga. Lamun di perairan Sumatra membentuk hamparan padang lamun monospesifik dan multispesifik dengan rata-rata 4 hingga 5 spesies, dan maksimal 9 spesies dalam satu lokasi. Lokasi yang memiliki jumlah spesies terbanyak adalah Bintan, Lingga dan Belitung dengan 9 spesies lamun, sedangkan di lokasi Sabang memiliki jumlah spesies terendah, sebanyak 2 spesies. Sementara itu, secara umum ditemukan sekitar 76 spesies makroalga di perairan Sumatra. Spesies yang paling sering ditemukan adalah Sargassum spp, Padina spp, Caulerpa spp. dan Halimeda spp. Jumlah spesies makroalga di kawasan ini masih sangat mungkin bertambah seiring dengan banyaknya kegiatan eksplorasi yang dilakukan.</p> <p>Fauna laut yang memiliki keanekaragaman spesies yang relatif tinggi adalah kelompok Echinodermata. Jumlah spesies yang paling banyak dijumpai pada kelompok bintang mengular (Ophiuroidea), yaitu 72 spesies dan paling sedikit dijumpai pada kelompok lili laut (Crinoidea), sebanyak 49 spesies. Kelompok bintang laut (Asteroidea), bulu babi (Echinoidea) dan timun laut (Holothuroidea) masing-masing terdiri dari 51, 55 dan 50 spesies. Selain itu, tercatat sekitar 170 spesies krustasea (kepiting dan udang-udangan), kelompok moluska laut dan juga belangkas (bangsa Xiphosura) juga ditemukan di perairan laut sekitar Pulau Sumatra. Lebih dari 1.000 spesies ikan diketahui hidup di sekitar wilayah perairan ini dan beberapa diantaranya bersifat endemik atau termasuk spesies yang terancam punah, seperti ikan hiu, pari dan napoleon. Sampai saat ini, tercatat sebanyak 25 spesies mamalia laut yang hidup di perairan sekitar Sumatra, 19 spesies diantaranya tercatat pernah terdampar di sekitar perairan ini. Selama kurun waktu 2004-2021, tercatat sebanyak 75 kasus keterdamparan dengan jumlah kasus paling banyak adalah duyung Dugong dugon di Provinsi Aceh, Kepulauan Riau, Riau dan Bangka Belitung.</p> <p>Keanekaragaman flora terestrial pulau Sumatra menempati posisi ketiga setelah pulau Jawa dan Kalimantan dengan jumlah 10.159 spesies, yang terdiri dari 8.095 spesies dari kelompok tumbuhan Spermatofit 968 spesies kelompok Lumut, dan 739 spesies Pteridofit atau tumbuhan Paku-pakuan. Seiring dengan banyaknya eksplorasi yang dilakukan dalam kurun kurang lebih 10 tahun terakhir, tercatat 59 spesies baru flora yang telah dipertelakan. Sebanyak 686 spesies flora di Pulau Sumatra merupakan spesies endemic, meliputi suku Orchidaceae (Anggrek-angrekan) sebanyak 82 spesies, suku Gesneriaceae 62 spesies, dan suku Ericaceae 57 spesies. Saat ini, sebanyak 117 spesies tumbuhan telah masuk dalam daftar spesies yang dilindungi, dengan jumlah spesies terbanyak berasal dari suku Nepenthaceae (59 spesies Nepenthes), diikuti oleh Orchidaceae (28 spesies anggrek) dan Rafflesiaceae (13 spesies Rafllesia). Selain itu, ribuan spesies anggrek juga masuk dalam daftar perdagangan internasional yang diatur dalam CITES, bersama dengan spesies-spesies Nepenthes, Gaharu, Dalbergia, Cyathea dan lainnya. Beberapa spesies diantaranya memiliki tingkat keterancaman yang tinggi berdasarkan hasil asesmen IUCN. Diantara banyaknya spesies tumbuhan yang perlu dilindungi, pemerintah telah menetapkan 13 spesies flora dari suku Araceae, Dipterocarpaceae, Lauraceae, Nepenthaceae, Orchidaceae, dan Rafflesiaceae yang menjadi prioritas untuk dilindungi. Selain itu, tujuh spesies dari suku Dipterocarpaceae dan Lauraceae perlu untuk ditambahkan ke dalam daftar sementara karena berdasarkan asesmen IUCN statusnya Terancam Punah.</p> <p>Keanekaragaman Fauna di Sumatra juga termasuk tinggi, saat ini ini tercatat kurang lebih 5.179 spesies fauna terrestrial di awasan ini, termasuk dalam subfilum Vertebrata dan filum Invertebrata. Di Sumatra tercatat sebanyak 662 spesies burung, tertinggi kedua setelah Papua (703 spesies). 58 spesies merupakan spesies burung endemik dan 10 spesies diantaranya termasuk dalam 3 kategori terancam menurut IUCN. 251 spesies mamalia terrestrial diketahui terdistribusi di Sumatra dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, yang terdiri dari 12 bangsa dan 39 suku. 57 spesies mamalia atau sekitar 15.8% diantaranya merupakan spesies-spesies mamalia yang endemik, termasuk endemik di Pulau Sumatra maupun endemik di pulau kecil disekitarnya. 43 spesies mamalia di kawasan Sumatra telah masuk dalam daftar fauna yang dilindungi, dan sebagian diantaranya terancam punah berdasarka kriteria IUCN, yaitu 7 spesies (3%) masuk dalam kategori kritis, 16 spesies (6%) terancam, dan 39 spesies (15%) rentan.</p> <p>Data kekayaan spesies herpetofauna di kawasan ekoregion Sumatra saat ini, diprediksi belum menggambarkan jumlah yang sesungguhnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya temuan spesies baru sebanyak 36 spesies untuk reptilia dan 40 spesies untuk amfibia dalam kurun waktu tahun 2000 - 2023. Hampir 40% amfibia dari total 130 spesies di Sumatra adalah endemik; 31% spesies reptilia Atua 83 dari 267 spesies adalah endemic. Diantara spesies tersebut, 8 spesies masuk dalam daftar jenis lindungan. Untuk spesies ikan air tawar, terdata 595 spesies dan tersebar di danau-danau bagian Barat Sumatra, Sungai-Sungai besar di Selatan dan Utara Pulau Sumatra dan rawa/gambut di pesisir Timur Sumatera. Sebanyak 73 spesies diantaranya merupakan spesies ikan endemik Sumatra dan 24 spesies telah masuk dalam daftar ikan yang dilindungi. Di kawasan ekoregion Sumatra, juga tercatat adanya 16 spesies ikan introduksi dan beberapa 7 spesies diantaranya dimanfaatkan dalam kegiatan budidaya, diantaranya mujair, nila, lele Africa, mas, patin Bangkok, sepat siam dan bawal air tawar.</p> <p>Fauna terestrial yang masuk dalam kelompok invertebrate, yaitu insekta dan arthrpoda lainnya memiliki keanekaragam,an yang sangat tinggi, bahkan untuk kelompok insekta saja tercatat kurang lebih 2581 spesies. Lebih dari 1000 spesies kupu-kupu terdapat di Pulau Sumatra dan pulau-pulau kecil di sekitarnya dengan 77 spesies diantaranya merupakan kupu-kupu endemik untuk Pulau Sumatra dan sekitarnya dan 6 spesies dilindungi. Selain kupu-kupu, saat ini diketahui di Sumatra sendiri diketahui terdapat 30 spesies lebah tanpa sengat dan 109 spesies Vespidae yang termasuk dalam 30 marga. Pada kelompok Moluska, khususnya keong darat anggota Filum Gastropoda, terdapat 322 spesies atau sekitar 90% dari keong darat yang tercatat di Indonesia, dan 33 spesies diantaranya endemic Summatra. Keong darat suku Camaenidae dan Cyclophoridae memiliki jumlah spesies terbanyak sebanyak 58 dan 66 spesies. Sedangkan dari kelompok Bivalvia atau kerang-kerangan, sebanyak 57 spesies Bivalvia air tawar tercatat dari Pulau Sumatra dengan lima spesies merupakan spesies endemik.</p> <p>Tingginya keanekaragaman hayati di Sumatra menyimpan potensi yang besar juga untuk pembangunan, oleh karena itu perlu diiringi dengan kebijakan pengelolaan kawasan, termasuk kawasan konservasi yang dapat melindungi, menjaga dan memelihara keanekaragaman hayati. Implementasi pengelolaan kawasan konservasi dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis dibawah Direktorat Jenderal KSDAE, KLHK termasuk yang di Pulau Sumatera, seperti di Balai Besar Taman Nasional (TN) Gunung Leuser dan Balai TN. Bukit Barisan Selatan. Di luar kawasan konservasi, seperti pada hutan lindung dan produksi telah diimplementasikan juga berbagai kebijakan untuk mendukung pengelolaan kehati yang berkelanjutan, seperti kebijakan Restorasi Ekosistem (RE) dan multi usaha kehutanan pada area Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Pada tingkat konservasi spesies, implementasi kebijakan konservasi flora dan fauna dilakukan secara in-situ maupun eks situ. Program konservasi spesies in situ dilakukan melalui pendekatan spesies payung (<em>umbrela species), </em>spesies bendera<em> (flagship species)</em> atau spesies kunci <em>(key species)</em> sebagai <a href="https://www.nature.com/articles/s41467-020-14554-z">spesies indikator</a>/prioritas untuk dilindung. Implementasi konservasi eks situ dikembangkan melalui pembentukan lembaga konservasi, pusat penyelamatan satwa, kebun raya, taman kehati dan unit penangkaran tumbuhan dan satwaliar.</p> <p>Kawasan konservasi terus bertambah meskipun dari luasan mengalami penurunan dalam tujuh tahun terakhir. Kawasan konservasi yang dikelola oleh KLHK pada tahun 2022 mencapai 568 kawasan dan 153 kawasan tersebar di Pulau Sumatera dengan luas sekitar 5,25 juta ha. Namun sebagian kawasan konservasi tersebut telah berubah menjadi perkebunan sawit dan terus mengalami degradasi fungsi dan fragmentasi habitat akibat tingginya tekanan akibat perambahan, perkebunan, penebangan liar, kebakaran hutan, dan penambangan tanpa ijin. Selain di daratan, terdapat sekitar seperti satu Taman Wisata Alam Laut, dua Taman Wisata Perairan, satu Cagar Alam Laut dan 45 Kawasan Konservasi Perairan Daerah. Beberapa kawasan konservasi yang memenuhi kriteria penetapan secara internasional, potensi kekayaan hayati, habitat utama satwa terancam punah, keberadaan masyarakat tradisional, potensi pemanfaatan jasa lingkungan, keterwakilan geografis dan mewakili ekosistem daratan dan perairan terdapat beberapa kawasan konservasi perlu untuk menjadi prioritas dalam pengelolaan dimasa mendatang. Kawasan konservasi tersebut adalah TN. Gunung Leuser, TN. Berbak dan Sembilang, dan TN. Bukit Barisan Selatan. Sebagai contoh, kawasan TN. Gunung Leuser merupakan kawasan konservasi di Pulau Sumatera yang merupakan habitat terakhir gajah, harimau, badak dan orangutan Sumatra serta beragam flora yang dilindungi.</p> <p>Selain pengelolaan melalui kawasan konservasi, dalam mendukung pengelolaan kehati pemerintah telah menetapkan pedoman untuk tindakan konservasi berbasis kawasan lain di luar kawasan konservasi/<em>Other effective area-based conservation measures</em> (OECM), yaitu Kawasan Bernilai Konservasi Hayati Tinggi atau di sebut juga Ekosistem Esensial (ABKT), area lahan basah, koridor satwa dan taman kehati. Pada tahun 2022 di Sumatra dapat diidentifikasi 16 kawasan OECM dengan luas mencapai 715 ribu ha, diantaranya Koridor Sumatra Selatan, Mangrove Lepar Pongok dan Pantai Cemara. Kawasan OECM yang perlu untuk menjadi prioritas pengelolaan dimasa depan adalah Lanskap Batangtoru, yang merupakan habitat terakhir bagi orangutan tapanuli.</p> <p>Pulau Sumatra juga memiliki beragam etnis yang tersebar dari tidak hanya didataran Sumatra, namun juga di pulau-pulau kecil sekitar Sumatra.Kekayaan sumber daya hayati Sumatra telah menarik berbagai bangsa sejak zaman dahulu. Pada abad ke-9, pedagang Arah membuka jalur pelayaran ke Sumatra, mengawali era perdagangan dan hubungan lintas budaya. Saat ini, pertumbuhan ekonomi Sumatra didukung oleh sektor pertanian, pertambangan dan Perkebunan. Pemanfaatan sumber daya alam diatur pemerintah, dengan tujuan menjaga keseimbangan dan kelangsungan spesies-spesies tumbuhan dan satwa. Ekspor sumber daya alam, seperti kulit biawak dan gaharu, memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan berkontribusi pada perekonomian dan devisa negara. Pada tahun 2022 produksi hasil hutan kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) mengalami peningkatan signifikan, terutama dalam bentuk kayu dan produk olahannya. Provinsi Sumatra Selatan, Riau, Sumatra Utara, Jambi, Kepulauan Riau, dan Lampung adalah kontributor utama dalam ekspor hasil kehutanan. Namun penggunaan yang berlebihan dapat mengakibatkan kondisi over-exploited seperti pada umber daya ikan di sekitar ekoregion laut Sumatra. Penilaian ekonomi sumber daya alam menjadi penting untuk mempertimbangkan keseimbangan ekosistem. Di Sumatra, mangrove memberikan manfaat ekonomi yang signifikan, seperti sumber kayu, mata pencaharian, dan perlindung pantai, dengan nilai ekonomi mencapai 2,2 miliar rupiah per tahun. Selain itu, perkebunan kelapa sawit dan karet memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia, khususnya Provinsi Riau sebagai penghasil kelapa sawit terbesar. Bentuk lain dari pemanfaatan adalah layanan jasa ekosistem yang merupakan manfaat yang diberikan oleh ekosistem kepada manusia. Sumatra menyediakan sumber energi dari fosil dan terbarukan seperti panas bumi, matahari, dan air. PLTP Ulubelu di Lampung adalah contoh sukses, menyumbang 23% dari kebutuhan listrik provinsi dan mengurangi emisi karbon. Ekosistem lamun dan terumbu karang di Sumatra juga memberikan berbagai manfaat, seperti perlindungan pantai, rekreasi, dan sumber makanan,</p> <p> Sebagian pengetahuan lokal masyarakat di Sumatra mengenai pemanfaatan sumber daya hayati telah didokumentasikan. Masyarakat adat dan lokal di Sumatra menggunakan tumbuhan untuk obat tradisional, bahan makanan, bahan bangunan, upacara adat, alat musik, ekonomi, ritual, kerajinan, dan banyak lagi. Sementara itu, dalam pemanfaatan hewan, hewan digunakan sebagai bahan makanan, obat-obatan, alat ritual, dan alat musik. Selain itu, Sumatra memiliki beragam kearifan lokal yang telah berkembang dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti pengelolaan sumber daya air, hutan, kebun, hasil hutan, dan sumber daya air, yang telah menjadi bagian berharga dari warisan budaya masyarakat Sumatra.</p> <p> Pengelolaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati dan sumber daya hayati perlu mempertimbangkan keharmonisan alam dan manusia. Aktifitas manusia yang tidak memperhatikan kelangsungan alam telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati baik di ekosistem marine mapun daratan penangkapan berlebih, polusi, perubahan iklim, alih guna lahan, jenis asing invasive, kebakaran hutan, dan zoonosis adalah diantara beberapa ancaman yang membayangi kelestarian keanekaragaman hayati. Ekspansi aktivitas manusia ke habitat satwa liar, seperti pertanian, penebangan hutan, dan pembangunan infrastruktur, yang mereduksi habitat alami satwa liar, meningkatkan potensi bertemunya manusia dengan satwa liar sehingga dapat menyebabkan konflik satwa dan manusia. Oleh karena itu pembangunan dengan mempertimbangkan rencana pengelolaan dan pemanfaatan yang disesuaikan dengan karakter ekoregion penting untuk dilakukan sehingga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian dapat tercapai dan keselarasan hidup dengan alam dapat terwujud.</p>Anang Setiawan Achmadi
Copyright (c) 2024 National Research and Innovation Agency
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0
2024-10-102024-10-10